Upacara
Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk liau Uluh Matei ialah upacara sakral
terbesar Zuntuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia
menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia
Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang
atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.
Perantara
dalam upacara ini ialah :
Rawing
Tempun Telun, Raja Dohong Bulau atau Mantir Mama Luhing Bungai Raja Malawung
Bulau, yang bertempat tinggal di langit ketiga. Dalam pelaksanaan tugas dan
kewajibannya Rawing Tempun Telun dibantu oleh Telun dan Hamparung, dengan
melalui bermacam-macam rintangan.
Kendaraan
yang digunakan oleh Rawing Tempun Telun mengantarkan liau ke Lewu Liau ialah Banama
Balai Rabia, Bulau Pulau Tanduh Nyahu Sali Rabia, Manuk Ambun. Perjalanan jauh
menuju Lewu Liau melewati empat puluh lapisan embun, melalui sungai-sungai,
gunung-gunung, tasik, laut, telaga, jembatan-jembatan yang mungkin saja apabila
pelaksanaan tidak sempurna, Salumpuk liau yang diantar menuju alam baka
tersesat. Pelaksana di pantai danum kalunen dilakukan oleh Basir dan Balian.
Tiwah
merupakan runtutan kegiatan upacara kematian yang dilaksanakan di Desa Bangkal,
Kecamatan Danau Sembuluh Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.
Sebelum
dilaksanakan upacara kematian, mayat yang baru meninggal dunia disimpan dirumah
keluarga duka hingga keluarga memiliki uang untuk melaksanakan upacara tiwah.
mayat disimpan dalam satu wadah yang diolah sedemikian rupa sehingga baunya
tidak tercium di sekitar mayat.
Dalam
pelaksanaan upacara tiwah terdapat beberapa langkah-langkah yang sering
dilaksanakan di desa Bangkal dan terbagi menjadi, antara lain:
Sandong
Sandong
adalah upacara awal yang dilaksanakan, sandong merupakan rumah mayat yang
berbentuk rumah-rumahan kecil yang tinggi. Menyimpan mayat-mayat dari
keluarga-keluarga hingga keturunan selanjutnya dalam satu sandong.
Sandong
terbagi menjadi dua, yakni;
----Sandong tulang
Sandong
tulang adalah rumah mayat yang menyimpan abu dari mayat yang telah dibakar.
Ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan sandong raong.
----Sandong raong
Sandong
raong adalah rumah mayat yang menyimpan mayat secara utuh (tulang-belulang)
yang tidak dibakar terlebi dahulu. Ukurannya lebih besar jika dibandingkan
dengan sandong tulang.
Di bangunan
sandong dapat dijumpai anyaman semacam wadah yang digantung, gunanya adalah
sebagai wadah tempat menaruh sesajen untuk arwah yang diberi nama Ancak.
Sandong
dapat dijumpai masih banyak di Desa Bangkal, baik sandong tulang maupun sandong
raong. Letak sandong biasanya dekat (bisa berseberangan) dengan rumah keluarga
/ kerabat yang turun-temurun berdiam disana.
Sapundu
Sapundu
merupakan yang terbuat dari kayu ulin yang dibentuk menyerupai manusia (bisa
ditambah binatang), bentuk dan jenis manusia bisa menyerupai polisi, petani,
bisa laki-laki maupun perempuan, tambahan-tambahan relief lain juga ditambahkan
sesuai dengan kreasi pemahatnya, tanpa menghilangkan tujuan utama dari sapundu.
Sapundu
dipercayai sebagai tangga sang arwah untuk menuju surga dan sebagai pengawal
sang arwah hingga dalam perjalanan menuju surga. Jumlah sapundu untuk setiap
mayat keluarga adalah dua buah, yang diletakkan di sisi kiri dan kanan dari
sandong.
Sapundu
selalu diletakkan menghadap ke Barat, mereka mempercayai bahwa arah
tenggelamnya matahari adalah simbol dari berakhirnya umur manusia di bumi
sekaligus berakhirnya tujuan hidup manusia di bumi.
Pantar
Pantar
merupakan tiang tinggi yang terbuat dari kayu ulin yang tingginya sekitar 10
meter dan di atasnya terdapat pahatan yang menyerupai bentuk burung enggang
yang arahnya berbeda-beda dan memiliki arti khusus.
Pantar
dipercayai sebagai tangga (yang lebih tinggi) yang digunakan arwah untuk menuju
surga “yang lebih indah” dari surga sebelumnya yang arwah tempati dengan
menaiki tangga sapundu.
Arah burung
Enggang menunjukkan arah dimana ngayau mendapatkan korban “kepala manusia” yang
dijadikan syarat wajib untuk mendirikan pantar. Ngayau adalah orang pilihan
yang bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk keluar daerah dan mencari korban
untuk memenuhi syarat pendirian pantar. Korban dibunuh di suatu tempat dan
diambil kepalanya untuk dibawa pulang. Jika mendapatkan korban dan dibawa
hidup-hidup, dapat dijadikan syarat untuk upacar selanjutnya, yakni sangaran.
Tradisi
pantar ini sudah tidak dilaksanakan lagi dengan menggunakan kepala manusia,
seiring dengan larangan hukum yang dilaksanakan pada masa belanda, hingga kini
mereka mentaati hukum pemerintah, serta keyakinan mereka yang sebagaian telah
menganut agama (Islam, Kristen, dan Hindu-Kaharingan).
Sekarang
pantar didirikan tanpa symbol enggang di atasnya, karena korbannya digantikan
dengan kepala kerbau. Di tiang pantar terdapat sayatan-sayatan yang menandakan
tingkat kesulitan untuk mendapatkan sang korban. Pantar juga bebas di ukir
dengan ditambahkan ukiran hewan di tiangnya sesuai dengan kreasi pemahatnya.
Ciri pantar
yang menggunakan kepala manusia sebagai korbannya adalah, 1) terdapat burung
enggang (terbuat dari kayu ulin) di atasnya, 2) terdapat Tajahan (tunggul kecil
berbentuk roh yang letaknya di depan sandong yang terbuat dari kayu ulin).
Sangaran
Sangaran
merupakan upacara terakhir yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara Tiwah.
Sangaran adalah sebuah tiang yang tinggi (lebih rendah dari pantar) sekitar 3
meter yang digunakan untuk mengikat korban baik manusia maupun kerbau yang akan
dibunuh (ditusuk dengan tombak).
Sangaran
biasanya dilengkapi dengan sebuah guci dan ukiran-ukiran sesuai dengan kreasi
pemahatnya. Sangaran dipercayai sebagai tangga (tertinggi) untuk mengantarkan
arwah menuju surga “terindah”.
Tahapan-tahapan
yang kami uraikan di atas merupakan nama dari bangunan yang langsung didirikan
pasca upacara berlangsung. Semua bangunan terbuat dari kayu ulin dan menghadap
ke Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah dengan sopan