Kamis, 24 Maret 2016

SANDUNG



Sandung.
Suku Dayak, merupakan salah satu dari banyak suku di Nusantara yang meletakan Ritual Kematian pada bagian yang paling tinggi dalam tatanan budaya.  Kematian dianggap sebagai awal dari perjalanan panjang menuju sebayan (alam setelah kehidupan / saruga / surga~ orang dayak tidak mengenal adanya neraka).  Sehingga orang-orang yang mati, harus diberi bekal yang cukup, disediakan media perjalanan yang panjang serta tempat tinggal yang baik.  Semuanya itu disediakan oleh keluarga yang masih hidup.

Ritual kematian, selain menghantarkan arwah ketempat peristirahatan terakhir, pun secara tidak sadar telah menjadi semacam unjuk kekuatan (show of force) oleh keluarga yang masih hidup, ini dikarenakan untuk melaksanakan ritual pengangkatan / pemindahan kerangka jenasah dari kuburan ke dalam sandung membutuhkan biaya yang tidak sedikit, waktu ritual (mereka menyebutnya pesta) selama kurang lebih seminggu penuh, siang dan malam.

Sandung, umumnya terbuat dari kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri), sering juga disebut kayu Tebelian, Belian atau kayu besi.  Untuk mendapatkan kayu ulin dengan diameter diatas 60cm cukup sulit dan butuh biaya besar, selain itu sandung umumnya disertai dengan berbagai jenis ukiran dan hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya, karena ukiran tidak dibuat sembarangan, ada ketentuan tertentu yang harus dipenuhi, karena jika salah dapat menimbulkan semacam bala (si pembuat atau keluarga, bisa kerasukan bahkan bisa menyebabkan kematian), dari yang saya pahami, tujuan adanya bala sejatinya untuk mempertahankan kesakralan ukiran dengan tidak memperbolehkan sembarang orang untuk mengukirnya.

Ritual pengangkatan kerangka jenasah dan memindahkannya ke sandung disebut tiwah (kalteng) dan dibeberapa tempat di Kalbar dikenal dengan sebutan ngensudah, tidak semua orang dayak mampu melaksanakan tiwah, itulah sebabnya pada acara tiwah yang diangkat tidak hanya satu kerangka, tetapi bisa satu keluarga atau beberapa kerangka, ini dilakukan untuk menekan biaya yang sangat tinggi.

Saat ini, terutama sejak masuknya Agama Katolik yang bawa oleh Misionaris, Kristen Protestan oleh Zending dan penyebaran agama Islam oleh para pedagang arab, ritual sudah mulai ditinggalkan, sekarang acara kematian lebih sederhana, tiwah tidak lagi mengangkat kerangka jenasah tapi cukup ditandai dengan melakukan pengerasan lanjutan seperti penyemenan atau memasang keramik pada makam. Cara ini dirasa cukup untuk melakukan penghormatan kepada yang meninggal sekaligus tidak memberatkan keluarga yang ditinggalkan.

Ngensudah, bisa diartikan mengakhiri hubungan antara yang mati dengan yang hidup.  Ritual ini bentuk penyederhanaan dari tiwah, waktu pelaksanaan umumnya setelah empat puluh hari atau lebih sejak kematian.  Dalam acara ini umumnya ditandai dengan mempercantik makam dengan penyemenan atau memasang keramik dan penyembelihan hewan ternak berupa sapi sebanyak 1 (satu) ekor.  Pada acara ini, seluruh penghuni desa dan desa-desa sekitarnya diundang.  Hal penting yang perlu diperhatikan, sebelum acara ngensudah dilaksanakan, istri atau suami yang meninggal dilarang untuk mencari pasangan hidup baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah dengan sopan