Sandung.
Suku Dayak,
merupakan salah satu dari banyak suku di Nusantara yang meletakan Ritual
Kematian pada bagian yang paling tinggi dalam tatanan budaya. Kematian dianggap sebagai awal dari
perjalanan panjang menuju sebayan (alam setelah kehidupan / saruga / surga~
orang dayak tidak mengenal adanya neraka).
Sehingga orang-orang yang mati, harus diberi bekal yang cukup,
disediakan media perjalanan yang panjang serta tempat tinggal yang baik. Semuanya itu disediakan oleh keluarga yang
masih hidup.
Ritual kematian,
selain menghantarkan arwah ketempat peristirahatan terakhir, pun secara tidak
sadar telah menjadi semacam unjuk kekuatan (show of force) oleh keluarga yang
masih hidup, ini dikarenakan untuk melaksanakan ritual pengangkatan /
pemindahan kerangka jenasah dari kuburan ke dalam sandung membutuhkan biaya
yang tidak sedikit, waktu ritual (mereka menyebutnya pesta) selama kurang lebih
seminggu penuh, siang dan malam.
Sandung, umumnya
terbuat dari kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri), sering juga disebut kayu
Tebelian, Belian atau kayu besi. Untuk
mendapatkan kayu ulin dengan diameter diatas 60cm cukup sulit dan butuh biaya
besar, selain itu sandung umumnya disertai dengan berbagai jenis ukiran dan
hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya, karena ukiran tidak dibuat
sembarangan, ada ketentuan tertentu yang harus dipenuhi, karena jika salah
dapat menimbulkan semacam bala (si pembuat atau keluarga, bisa kerasukan bahkan
bisa menyebabkan kematian), dari yang saya pahami, tujuan adanya bala sejatinya
untuk mempertahankan kesakralan ukiran dengan tidak memperbolehkan sembarang
orang untuk mengukirnya.
Ritual
pengangkatan kerangka jenasah dan memindahkannya ke sandung disebut tiwah
(kalteng) dan dibeberapa tempat di Kalbar dikenal dengan sebutan ngensudah,
tidak semua orang dayak mampu melaksanakan tiwah, itulah sebabnya pada acara
tiwah yang diangkat tidak hanya satu kerangka, tetapi bisa satu keluarga atau
beberapa kerangka, ini dilakukan untuk menekan biaya yang sangat tinggi.
Saat ini,
terutama sejak masuknya Agama Katolik yang bawa oleh Misionaris, Kristen
Protestan oleh Zending dan penyebaran agama Islam oleh para pedagang arab,
ritual sudah mulai ditinggalkan, sekarang acara kematian lebih sederhana, tiwah
tidak lagi mengangkat kerangka jenasah tapi cukup ditandai dengan melakukan
pengerasan lanjutan seperti penyemenan atau memasang keramik pada makam. Cara
ini dirasa cukup untuk melakukan penghormatan kepada yang meninggal sekaligus
tidak memberatkan keluarga yang ditinggalkan.
Ngensudah, bisa
diartikan mengakhiri hubungan antara yang mati dengan yang hidup. Ritual ini bentuk penyederhanaan dari tiwah,
waktu pelaksanaan umumnya setelah empat puluh hari atau lebih sejak kematian. Dalam acara ini umumnya ditandai dengan
mempercantik makam dengan penyemenan atau memasang keramik dan penyembelihan
hewan ternak berupa sapi sebanyak 1 (satu) ekor. Pada acara ini, seluruh penghuni desa dan
desa-desa sekitarnya diundang. Hal
penting yang perlu diperhatikan, sebelum acara ngensudah dilaksanakan, istri
atau suami yang meninggal dilarang untuk mencari pasangan hidup baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah dengan sopan